Era reformasi telah membawa
keterbukaan dalam menyampaikan pendapat secara bebas jauh dari tekanan seperti di
zaman orde baru. Jika sebelumnya hampir setiap orang tidak berani menyampaikan
pendapatnya secara terbuka, setelah reformasi semua berani bersuara bahkan
mengkritik habis-habisan pemerintah tanpa takut akan dibui atau ‘dihilangkan’.
Reformasi telah melahirkan demokrasi yang melampui batas-batas kekangan dalam
upaya menyampaikan apa-apa yang dirasakan baik melalui tulisan maupun lisan
kepada penguasa negara.
Salah satu pihak yang terus
menerus bersuara lantang tersebut adalah aktivis-aktivis kampus maupun
organisasi intelektual dan kemasyarakatan yang terus berteriak mensuarakan
suara rakyat atas kezaliman pemerintah. Keberanian untuk tampil menentang
pemerintah seperti menjadi suatu kebanggaan tersendiri didukung oleh idealisme
yang memang masih terpatri didalam sanubari. Persoalan timbul setelah aktivis
yang dulunya berteriak lantang tersebut berhasil duduk di pemerintahan baik
legislatif maupun yudikatif. Suara mereka mendadak lenyap ditelan kejamnya
sistem yang memaksa mereka ikut jika masih mau berada di zona nyamannya.
Begitu banyak contoh aktivis
Indonesia yang ternyata tidak bisa berbuat apa-apa saat berada di lingkaran kekuasaan
bahkan berakhir tragis menjadi tersangka koruptor. Sebut saja Anas Urbaningrum,
mantan Ketua Partai Demokrat yang dulunya merupakan Ketua Umum PB HMI dan turut
memperjuangkan reformasi 98. Setelah menjadi ketua partai terbesar di Republik ini,
sepertinya Anas tidak lagi bisa mempertahankan idealismenya dan berujung pada
ditetapkannya Anas sebagai tersangka korupsi. Meskipun masih berstatus
tersangka, kejadian yang dialaminya seolah ikut mencoreng nama baik aktivis
yang selama ini dianggap masyarakat sebagai pejuang rakyat kecil.
Selanjutnya Denny Indrayana yang
sekarang menjadi Wamenkumham. Masih segar dalam ingatan saat beliau menjadi
aktivis anti korupsi (Pukat UGM), Denny sangat rajin mengkritik pemerintah
secara tulisan maupun lisan melalui wawancara dengan wartawan. Denny mengkritik
epicentrum terjadinya korupsi yang menurut beliau terjadi di Istana Presiden,
keluarga presiden, pemegang senjata (TNI, POLRI, Jaksa, Hakim), dan Pengusaha Naga
(konglomerat pengempelang BLBI). Tidak beberapa lama, Denny ditarik menjadi Staf
Khusus Presiden bidang hukum, kemudian menjadi Juru Bicara Kepresidenan bahkan Sekretaris
Satgas Mafia Hukum. Apa mau dikata, mendadak Deni menjadi kehilangan suara,
tidak terdengar lagi sepak terjangnya yang dulu garang, bahkan sampai berakhir
tugasnya di satgas mafia hukum, hukum masih saja dipermainkan oleh aparat
penegak hukum. Bisa dilihat dengan ditangkapnya Irjen Djoko Susilo, Jaksa Cirus
Sinaga dan Sistoyo, hakim Kartini Marpaung, Heru Kusbandono dan nama-nama
lainnya. Terbukti lagi, seorang aktivis menjadi mandul setelah berada di
lingkaran Istana.
Masih banyak lagi nama-nama
nasional yang dulunya terkenal sebagai aktivis, ternyata pada saat mendapat
kekuasaan malah menjadi salah satu pelaku perbuatan yang dulu dikritiknya
habis-habisan. Hal yang sama juga terjadi pada tingkat lokal atau kedaerahan
dimana seorang aktivis, setelah mendapatkan nama berhasil menjadi anggota
legislatif atau ditarik ke pemerintahan sebagai staf ahli, staf khusus atau
posisi strategis lainnya, mendadak sang aktivis tenggelam, bersembunyi dinikmatnya
kekuasaan.
Ferry Mursyidan Baldan, seorang
mantan ketua umum PB HMI pernah mengatakan bahwa pejabat dan wakil rakyat yang
menjadi tersangka korupsi di Indonesia hampir sebagian besar adalah mantan
aktivis (lensaindonesia.com 11 Juli 2012).
Penyebabnya menurut Ferry karena dunia aktivis tidak mengajarkan sikap mental,
hanya mengajarkan cara mengejar kekuasaan. Akibatnya setelah kekuasaan didapat,
maka tidak ada lagi idealisme yang dulu pernah dimiliki. Untuk itu masyarakat
harus banyak bergerak dan jangan lagi terlalu banyak berharap dengan mantan
aktivis yang sudah menjadi pejabat pemerintahan.
Fenomena ini juga pernah
ditanggapi oleh Prof. Dr. Sudjito, Kepala Pusat Study Pancasila UGM.
Menurutnya, banyak aktivis yang sebelumnya tampil mewakili kepentingan rakyat
dan berbuat atas nama rakyat, saat ini ternyata malah terjerat kasus korupsi.
Hal ini terjadi karena kurikulum pendidikan perguruan tinggi yang tidak
mengajarkan ilmu anti korupsi. Akibatnya, sistem yang ada dalam tubuh partai
dan negara makin melanggengkan kegiatan korupsi yang dilakukan mantan aktivis.
Bisa dimaklumi jika saat ini
masyarakat seperti kehilangan kepercayaan
terhadap pergerakan yang dilakukan oleh aktivis. Meskipun pada
kenyataannya masih ada aktivis yang memang benar-benar berjuang untuk membela
kepentingan rakyat, namun rakyat sudah pesimis duluan dan beranggapan bahwa
tindakan mereka hanya sekedar mencari popularitas untuk kemudian bisa
mencalonkan diri menjadi anggota legislatif. Sejarah memang telah membuktikan
bahwa seorang aktivis yang kemudian mencalonkan diri menjadi anggota legislatif
banyak yang berhasil mendulang suara. Sepak terjang mereka yang biasanya
dipublikasikan secara besar-besaran oleh media menjadi ajang sosialisasi dan
kampanye gratis yang bisa menarik simpati pemilih. Tapi itu dulu, sebelum
banyaknya aktivis yang terjerat masalah atau bungkam setelah menjadi bagian
dari pemerintahan.
Seharusnya aksi dari para aktivis
saat ini tetap harus mendapatkan dukungan masyarakat secara penuh agar
perjuangannya berhasil dan kepentingan masyarakat terpenuhi. Sikap antipati
masyarakat ini otomatis akan mematahkan perjuangan mereka, karena harus diakui,
salah satu syarat agar suatu kasus cepat ditindaklanjuti oleh aparat adalah kasus
yang mendapatkan perhatian masyarakat banyak. Jika masyarakat saja sudah tidak
peduli, maka kecil kemungkinan akan berlanjut ke proses hukum selanjutnya.
Kedepannya, seorang aktivis
haruslah mampu membuktikan diri sebagai orang yang amanah saat berhasil
mencapai kursi kekuasaan atau sudah berada dalam sistem. Masyarakat tidak lagi
bisa menerima alasan bahwa sistem membuat para aktivis ini tidak bisa berbuat
banyak dalam menentang korupsi atau pelanggaran lainnya. Idealisme dan mental
pejuang harus tetap terjaga dan semakin aktif mengempur penyelewengan dalam
kenegaraan. Jangan sampai arus kuat yang ada membuat seseorang benar-benar
menjadi ‘mantan aktivis’ yang tidak lagi berani bersuara apalagi menentang
kezaliman karena sudah merasa takut kehilangan. (Ahmad Medapri H)
No comments:
Post a Comment