Keberadaan seorang Wakil Kepala Daerah pada prinsipnya bertujuan untuk
membantu meringankan tugas-tugas dari Kepala Daerah (KDH). Wakil seharusnya
merupakan "orang kepercayaan" atau tangan kanan dari Kepala Daerah
yang memiliki suatu keterikatan secara emosional satu sama lain. Kepercayaan
ini akan didapat apabila seorang Kepala Daerah bisa memilih secara bebas
wakilnya tanpa terikat kepada suatu sistem atau manajemen yang bersifat
memaksa. Kalaupun ada ketentuannya, maka seorang KDH harus terlibat secara
langsung dalam menentukan Wakilnya. Jika tidak maka hubungan ini rentan konflik
dan dapat berujung kepada perpecahan antara Kepala Daerah dan wakilnya.
Jika mengacu kepada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 yang mengatur
tentang Pemerintahan Daerah sebelum masa reformasi, maka keberadaan wakil KDH
harus disesuaikan dengan kebutuhan daerah (Pasal 24 Ayat 5). Artinya, posisi
Wakil KDH bukanlah suatu keharusan dan jumlahnya bisa disesuaikan dengan
kebutuhan daerah tersebut. Wakil Kepala Daerah Tk. I diangkat oleh Presiden dan
untuk Daerah Tk.II oleh Mendagri serta berasal dari pegawai negeri yang
memenuhi persyaratan dengan persetujuan dari DPRD tanpa melalui proses
pemilihan. Dalam penjelasan Undang-Undang ini disebutkan bahwa keberadaan Wakil
KDH dipandang perlu mengingat luasnya tugas-tugas yang dihadapi oleh Kepala
Daerah baik fungsinya sebagai Kepala Wilayah Administratif maupun sebagai
Kepala Daerah Otonom. Keharusan Wakil KDH berasal dari pegawai negeri
menunjukkan bahwa seorang Wakil KDH haruslah berasal dari orang yang memahami
seluk beluk birokrasi agar dapat membantu Kepala Daerah secara maksimal.
Setelah era reformasi, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah mengamanatkan setiap Daerah dipimpin oleh seorang Kepala
daerah sebagai Kepala Eksekutif yang dibantu oleh seorang Wakil KDH (Pasal 30).
Pengisian jabatan Wakil KDH ini dilakukan oleh DPRD melalui pemilihan secara
bersamaan (Pasal 34 Ayat 1). Selanjutnya pada Pasal 57 Ayat 1, disebutkan
secara tegas bahwa tugas seorang Wakil Kepala Daerah adalah : membantu KDH
dalam melaksanakan kewajibannya; mengkoordinasikan kegiatan instansi
pemerintahan di daerah dan melaksanakan tugas-tugas lain yang diberikan oleh
KDH. Seorang Wakil KDH juga bertanggungjawab kepada Kepala Daerah. Jadi
meskipun mereka dipilih dalam satu paket, seorang Wakil Kepala Daerah tetap
berada dibawah koordinasi Kepala Daerah.
Meskipun Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah mengamanatkan
secara jelas tentang keberadaan Wakil KDH, namun kedudukan seorang Wakil KDH masih
sering menjadi persoalan. Keberadaannya masih dirasakan kurang efektif dalam
membantu tugas-tugas Kepala Daerah. Apalagi untuk daerah-daerah dengan jumlah
penduduk yang banyak seperti Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah dsb, tentunya
keberadaan 1 orang Wakil KDH kurang bisa membantu mengatasi persoalan yang
timbul di daerah-daerah tersebut. Sebaliknya, untuk daerah yang jumlah
penduduknya masih sedikit seperti di beberapa wilayah Sumatera dan Kalimantan
serta belahan timur Indonesia, keberadaan Wakil KDH menjadi kurang berarti
karena memang semua tugas pemerintahan masih bisa dilaksanakan oleh Gubernur
dibantu oleh Sekretaris Daerah.
Hubungan Yang Rawan Konflik
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang otomatis menganulir Undang-Undang
sebelumnya, memang mengatur tentang
kedudukan seorang Kepala Daerah dan Wakilnya dimana mereka dipilih secara
langsung oleh rakyat dalam satu paket. Karena yang berhak mengajukan pasangan
calon adalah partai politik -keberadaan calon independen masih sulit untuk
diajukan mengingat syarat-syarat yang diperlukan- maka baik Kepala Daerah
maupun wakilnya kebanyakan juga berasal dari unsur politik atau paling tidak
memiliki keterikatan dengan Partai Politik pengusungnya.
Dalam hal terjadinya kekosongan jabatan Wakil KDH yang masa jabatannya
masih tersisa 18 bulan atau lebih, maka seorang Kepala Daerah juga kembali
menghadapi persoalan dalam menentukan siapa wakilnya. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 hanya memberi peluang
bagi seorang Kepala Daerah yang berasal dari calon independen untuk menentukan
wakilnya secara langsung yang kemudian diajukan kepada DPRD (Pasal 26 Ayat 7).
Sementara untuk Kepala Daerah yang berasal dari partai politik, maka hak
menentukan calon berada pada partai politik atau gabungan partai politik yang
pasangan calonnya terpilih dalam pemilihan kepala daerah dan wakil KDH untuk
dipilih dalam Rapat Paripurna DPRD (Pasal 26 Ayat 6).
Akibatnya bisa kita saksikan bersama, sebagian besar Kepala Daerah dan
wakilnya yang terpilih seringkali mengalami ketidakharmonisan hubungan bahkan
berakhir dengan pengunduran diri. Pada
umumnya konflik terjadi karena KDH dan Wakil KDH saling berebut kewenangan
karena merasa dipilih secara bersama oleh rakyatnya. Sampai dengan awal tahun 2013
ini, data dari Kemendagri menunjukan dari sekitar 900 Kepala Daerah hasil
Pilkada di Indonesia, sebanyak 828 pasangan atau sekitar 94 persennya telah
pecah kongsi. dan hanya sekitar 6 persen atau 56 pasangan saja yang masih akur.
Hal ini juga terjadi karena pada umumnya pasangan kepala daerah ini berasal
dari partai yang berbeda (gabungan partai), sehingga juga membawa kepentingan
yang berbeda bagi partainya masing-masing.
Prof. Dr. Sadu Wasistiono, MS, dalam makalahnya menyebutkan Pembagian
tugas, wewenang dan kewajiban antara KDH dengan Wakil KDH merupakan wilayah
yang rawan konflik, apabila tidak diatur secara tegas dan rinci dalam ketentuan
perundang-undangan yang cukup kuat kedudukan hukumnya. Untuk itu, Ada tiga
model yang dapat digunakan untuk meminimalisir potensi konflik ini yaitu :
1) diatur secara
rinci dalam UU atau PP;
2) diatur
prinsip-prinsipnya di dalam UU atau PP, kemudian dijabarkan lebih lanjut dengan
peraturan yang lebih rendah tingkatannya seperti Peraturan Kepala Daerah.
3) tidak
diatur sama sekali dalam UU atau PP, tetapi lebih merupakan “gentlemen agreement”
antara dua orang yang dibuat pada saat adanya kesepakatan untuk maju bersama
dalam Pilkada.
Pemilihan Wakil KDH Inkonstitusional
Jika dikembalikan kepada UUD 1945, pada Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945
menyebutkan Gubernur, Bupati, Walikota dipilih secara demokratis. Dapat
difahami, bahwa jabatan yang harus dipilih langsung oleh rakyat atau melalui
wakilnya di DPRD hanyalah jabatan Kepala Daerah. Sementara untuk wakilnya, UUD 1945 tidak mengatur hal tersebut. Berbeda
dengan kedudukan Presiden dan Wakil Presiden yang memang disebutkan dengan
jelas harus dipilih secara langsung oleh rakyat. Artinya keberadaan seorang
Wakil KDH bukanlah sesuatu yang mutlak (harus ada) dalam pemerintahan daerah. Meskipun
secara jelas pemilihan Wakil KDH tidak sesuai dengan konstitusi, namun karena
belum ada yang mengajukan uji materiil ke Mahkamah Konstitusi maka Pemilihan
KDH dan Wakil dalam satu paket masih dapat dilakukan.
Tentunya persoalan antara Kepala Daerah dan wakilnya menjadi sangat
urgent untuk segera dicarikan solusinya karena akan menjadi preseden buruk bagi
masyarakat. Untuk diketahui, rata-rata dana yang dihabiskan dalam
penyelenggaraan Pilkada pada tingkat provinsi mencapai Rp 100-200 milyar
per-pasangan, dan Rp 10-30 milyar untuk tingkat Kota/Kabupaten. Belum lagi waktu yang dihabiskan untuk
menyelesaikan konflik atau melakukan pemilihan ulang terhadap posisi Wakil KDH
yang kosong. Salah satu solusinya yaitu dengan tidak mengadakan pemilihan Wakil
KDH, melainkan cukup diangkat langsung oleh Kepala Daerah terpilih sebagaimana
jabatan Sekretaris Daerah. Jika pemerintahan masih saja disibukkan dengan
persoalan pengisian jabatan yang kosong, atau ketidakharmonisan antara Kepala
Daerah dan Wakilnya, apalagi berujung kepada perseteruan antara eksekutif dan
legislatif, maka rakyat juga yang akhirnya akan merasakan dampaknya. Karena
banyak persoalan lain yang jauh lebih penting dan berhubungan langsung dengan pembangunan
dan kemaslahatan masyarakat menjadi terbengkalai. (Ahmad Medapri H)
No comments:
Post a Comment